Buka Pekan Budaya Sengerenna, Sekprov Bersama Bupati Luwu Main ‘Gassing’

Sekprov Sulsel Abdul Hayat Gani Saat Menghadiri Pekan Budaya Sengerenna Luwu

LINISULSEL.COM,LUWU – Sekretaris Daerah Provinsi Sulsel, Abdul Hayat Gani, membuka Pekan Budaya 2022 Sengerenna Luwu, di Area Baruga Arung Senga Belopa, Minggu, 23 Januari 2022.

Bersama Bupati dan Ketua DPRD Luwu, ia naik becak dari Lapangan Andi Djemma.

Iring-iringan ini ripadduppai lellung atau disambut payung kehormatan tarian Pangranjen. Ini adalah tarian yang diangkat dari tarian perang etnis Basse Sangtempe Luwu.

Dahulu kala tarian ini menggambarkan semangat yang menyala-nyala dari pasukan perang, baik laki-laki maupun perempuan dalam mempertahankan kebenaran. Semangat digambarkan oleh kibasan penai atau pedang yang selalu diimbangi dengan pertimbangan matang yang digambarkan oleh gemulai penari perempuan.

Dengan pengguntingan pita, Sekprov Sulsel secara resmi membuka acara yang berlangsung dari 23-26 Januari 2022. Adapun item kegiatan yang ditampilkan berupa, pameran pusaka, lomba kegiatan tradisional seperti, permainan gasing, ma’balendo, penampilan talen Wija to Luwu, Baca Puisi, Dongeng Berbahas Daerah, penampilan tari tradisional dari beberapa Komunitas Sanggar Seni yang ada di Kabupaten Luwu.

“Apa yang ada kita lestarikan, apa yang menjadi miliki kita perlu dilestarikan, seperti seni dan budaya kita yang berasal dari Tana Luwu ini,” kata Abdul Hayat Gani.

Selanjutnya, di Baruga Arung Senga, ia diperlihatkan sejumlah benda pusaka dan juga karya seni dari seniman lokal seperti lukisan.

Ia menyebutkan, bahwa negara-negara maju menjadi kuat juga karena mempertahankan budaya. Seperti Jepang dan Amerika Serikat. Selain ekonomi, pertahanan, juga seni dan budayanya.

Selanjutnya, ia bersama Bupati Luwu, Basmin Mattayang bermain gassing tradisional. Permainan tradisional ini dimainkan rakyat. Bukan hanya anak-anak tetapi juga dewasa. Dengan menggunakan baju adat, sekali melemparkan gasing ke tanah dan berhasil terputar.

Gassing yang dimainkan merupakan buatan masyarakat Desa Marinding dan Desa Kadong-kadong, Kecamatan Bajo Barat. Dan hingga saat ini masih dapat ditemukan dimainkan di desa tersebut dan desa lainnya.

“Ini bagian sangat penting sekali bagaimana kita tahu, seperti apa model interaksi sosial pendahulu kita,” sebutnya.

Kemudian terakhir melihat pertunjukan ma’balendo. Ma’ berarti memegang dan balendo adalah menumbuk padi. Kesenian ini merupakan ciri khas masyarakat Luwu. Kesenian ini lebih banyak digelar saat pesta panen. Ma’balendo juga merupakan aset dan ciri khas masyarakat Luwu. Melalui Ma’balendo mereka bisa mempererat tali persaudaraan. Dan juga sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan hasil panen yang berhasil berupa padi.

Sebelum beranjak kembali ke Makassar, Abdul Hayat diberikan buku prosa puitis bertajuk Ramansa Purba Dalam I La Galigo, yang ditulis selama 14 bulan oleh penyair/sastrawan putra Tana Luwu Alvin Shul Vatrick.

“Karya yang luar biasa, melalui buku ini kita bisa membaca kembali pesan-pesan serta nilai-nilai oleh para pendahulu kita,” ungkapnya.

Adapun Pemerhati Budaya Luwu, Syamsul Hilal yang menjadi pemandu menjelaskan, peralatan yang ada di pameran ini. Seperti kawali (badik), tempat meludah raja Luwu.

“Kami juga menujukkan peralatan yang sering disebut di I La Galigo. Ada lampu-lampu (penerangan) orang dulu, ada juga tempat meludah yang terbuat dari kuningan,” jelasnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
Tutup