Ketika Pemuda di batasi di Rumah Tuhan untuk Berkarya

Brian Adams

Oleh: Brian Adams

LINISULSEL.COM – Dalam struktur gereja yang sehat, setiap unsur tubuh Kristus memiliki peran dan porsi yang saling melengkapi. Pendeta menggembalakan, Majelis memimpin dan Jemaat dalam hal ini Pemuda mengambil bagian dalam pelayanan sesuai kapasitasnya.

Namun, dalam praktiknya tidak semua gereja berjalan dalam semangat kolaboratif seperti itu.

Di sejumlah jemaat terutama yang masih sangat bergantung pada satu figur pemimpin rohani, mulai tampak pola kepemimpinan yang sentralistik.

Semua keputusan, bahkan hal-hal teknis dalam kegiatan pemuda, harus melewati dan mendapat restu dari figur Pendeta.

Bukan lagi sebagai pembimbing tetapi sebagai satu-satunya pengambil keputusan penuh.

Sayangnya, tidak jarang restu itu berubah menjadi penolakan.

Fenomena ini menimbulkan kegelisahan di kalangan pemuda.

Mengeluhkan karakteristik figur dari seorang pendeta seperti ini. Yah benar kepemimpinan yang otoriter.

Ide dan Semangat Melayani di Ladang yang Tuhan berikan se akan akan tiada artinya.

Pemuda yang menjadi Masa kini dan Masa depan Gereja adalah segmen penting dalam tubuh jemaat.

Pemuda bukan hanya sekedar pengisi kursi dalam ibadah, tetapi pewaris Pelayanan Gereja.

Bukan menuntut kebebasan mutlak!! Kami hanya ingin dipercaya, kami butuh ruang untuk belajar, untuk gagal dan bangkit lagi.

Bukankah gereja seharusnya jadi tempat dimana potensi dipupuk bukan di tekan. Kami generasi muda yang rindu untuk melayani dan berkarya.

Lebih jauh, ini bukan semata soal kegiatan yang dibatalkan atau ide yang di tolak. Ini menyangkut soal peran seorang pendeta.

Ketika Pemuda terus menerus diperlakukan sebagai “Anak Kecil” yang tidak tahu arah, yang hanya boleh menjalankan keputusan dari atas tanpa diajak berdialog, makan secara tidak langsung Gereja sedang membunuh potensi masa depannya sendiri.

Pendeta memang pemimpin rohani. Tapi pemimpin bukan berarti pengendali tunggal.

Dalam tubuh Kristus, tugas pendeta adalah membina bukan membatasi, mendampingi bukan menguasai.

Memberi ruang bagi Pemuda untuk berkarya bukan hanya soal membesarkan nama Pemuda, tetapi memperluas pelayanan gereja secara keseluruhan.

Gereja yang sehat adalah gereja yang hidup. Dan gereja yang hidup adalah gereja yang memberi ruang bagi semua generasi untuk bertumbuh.

Menutup ruang mereka sama saja dengan menyiapkan kekosongan di masa depan.

Sudah waktunya gereja lewat para pemimpinnya termasuk para pendeta kembali meninjau ulang pendekatan terhadap pelayanan pemuda.

Sudah saatnya menggeser paradigma dari “Mengontrol” menjadi “Memberdayakan”. Gereja adalah milik bersama dan pemuda adalah bagian penting didalamnya.

Jika semua harus sesuai kemauan satu orang, lantas apa Peran dari Persekutuan. (*)

Tutup