Upaya Pengentasan Kemiskinan di Lutra, Pemerhati Apresiasi Program-program Indah Putri

H Aspar, pemerhati data kemiskinan di Luwu Utara.

LINISULSEL.COM, LUWU UTARA – Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Luwu Utara sangat memahami bahwa konsep kemiskinan yang digunakan BPS adalah konsep kemiskinan absolut, bukan kemiskinan relatif, apalagi subjektif.

Kemiskinan absolut dimaknai sebagai konsep kemiskinan yang merefleksikan suatu standar kebutuhan pokok minimal, berupa garis kemiskinan.

“Konsep kemiskinan tersebut adalah konsep kemiskinan makro (agregat) yang juga digunakan di beberapa negara dengan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs approach), sehingga kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan seseorang dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran,” papar H. Aspar, salah seorang pemerhati Data Kemiskinan Luwu Utara.

Olehnya itu, kata dia, konsep kemiskinan seperti itu tidak melihat jumlah nominal sebuah variabel yang ada.

“Konsep kemiskinan ini tak melihat berapa banyak uang yang tersimpan di bawah bantal, berapa banyak tabungan kita, berapa banyak lemari yang dihasilkan dari usaha kita, berapa banyak mobil yang digunakan, berapa banyak biaya anak sekolah dan berapa banyak biaya yang kita keluarkan untuk pesta, dan seterusnya,” urai dia.

“Melainkan berapa banyak yang kita konsumsi sendiri dan yang kita gunakan sendiri dalam sehari, seminggu, sebulan dan dalam satu tahun untuk kebutuhan dasar kita, baik untuk konsumsi makanan maupun konsumsi non makanan,” ucapnya menambahkan.

Termasuk juga bahwa konsep kemiskinan ini tidak mempertanyakan berapa banyak bangunan gedung, berapa banyak jumlah kendaraan, berapa banyak objek wisata, berapa banyak bangunan jalan dan jembatan, berapa banyak pembangkit energi dan air, berapa banyak BTS terbangun, berapa luas sawah, kebun, empang, ternak dan seterusnya.

“Namun, konsep kemiskinan ini tetap mempertanyakan berapa sewah rumah yang kita gunakan atau yang kita tinggali, berapa biaya transportasi yang kita gunakan, berapa biaya yang kita gunakan untuk berobjek wisata, berapa banyak biaya listrik yang kita gunakan,” jelasnya.

“Berapa banyak biaya air dan pulsa telepon serta data yang kita gunakan, berapa banyak beras, sayur, ikan, terasi, pasta gigi, sabun, sampo, dan yang kita konsumsi,” jelas Aspar.

Namun, pertanyaannya kemudian adalah untuk apa akses jalan dibangun ke tempat terpencil?

“Jawabannya adalah bahwa hingga saat ini Luwu Utara masih sebagai daerah terluas di Sulawesi Selatan dengan luas 7.502,58 km2. Di mana 58,13% atau lebih dari setengah luas Luwu Utara dikuasai oleh luas ketiga kecamatan terpencil yang terletak di wilayah ketinggian di atas 1.000 meter di permukaan laut, dengan total penduduk di kisaran 19.997 jiwa,” papar dia.

Dikatakan Aspar, Luwu Utara menjadi salah satu penyangga perluasan sentra ekonomi dan menjadi wilayah pengembangan cepat tumbuh di Luwu Utara, khususnya di sektor Pertanian yang meliputi Sub Sektor Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan, Kahutanan dan Peternakan.

”Hingga saat ini, Luwu Utara masuk kategori wilayah pemberi kontribusi terbesar terhadap kemiskinan di Luwu Utara, terutama dari aspek keterbatasan pemenuhan konsumsi non makanan (sandang) yang berasal dari kota,” katanya.

Hal ini disebabkan karena akses untuk menuju ke tiga kecamatan ini (Rongkong, Seko dan Rampi) masih sangat sulit dan terbatas.

”Dengan akses yang sangat sulit dan terbatas, pemenuhan standar kebutuhan penduduk terhadap bahan pokok konsumsi makanan (pangan) yang berjumlah 52 jenis dan non makanan (sandang) yang berjumlah 51 jenis, termasuk pemenuhan perumahan berstandar minimal semi permanen secara kontinyu, masih sangat sulit terpenuhi,” sambungnya.

Ditambahkan, untuk kebutuhan penduduk Luwu Utara saat ini terhadap konsumsi makanan dan non makanan setiap bulan per orang untuk keluar dari garis kemiskinan harus di atas Rp 368.716 per kapita per bulan.

Olehnya itu, lanjut dia, sasaran program dan bantuan yang dibutuhkan masyarakat dalam rangka pemulihan ekonomi dan pengentasan kemiskinan adalah: (1) Akses jalan yang layak ke daerah terpencil; (2) Perbaikan rumah masyarakat menuju rumah layak huni dengan program bedah rumah, terutama di 3 kecamatan yang berada di daerah gunung dan terpencil.

”Sejak kepemimpinan Bupati Indah Putri Indriani, sejak 2016 hingga saat ini, pemenuhan konsumsi non makanan dalam upaya peningkatan perkiraan sewah rumah penduduk miskin melalui program bedah rumah, sudah terbangun 2.500 rumah layak huni dan 162 rumah nelayan untuk daerah pesisir, termasuk pemberian bantuan berupa bahan bangunan kepada rumah tangga miskin,” beber Aspar.

Masih dia, pada tahun-tahun berikutnya, program tersebut akan terus ditingkatkan dan dikembangkan di tingkat desa, mulai dari penuntasan rumah tidak layak huni hingga program desa berpendapatan dan mandiri berdasarkan potensi wilayahnya.

”Untuk pemenuhan konsumsi makanan, telah banyak program yang disalurkan, mulai program Raskin, BLT dan PKH. Hasilnya telah menujukkan perubahan yang sangat signifikan. Di mana tingkat kemiskinan Luwu Utara pada 2008 berada pada kisaran 18,38%,” imbuhnya.

Namun, lanjut dia, sejak kepemimpinan Indah Putri Indriani yang dimulai pada periode pertama tahun 2016, angka kemiskinan di Luwu Utara turun menjadi 14,38%.

Pada 2019 kembali turun menjadi 13,60% dan pada awal periode kedua Bupati Luwu Utara 2020, angka kemiskinan Luwu Utara kembali turun hingga mencapai 13,41%.

”Resopa temma’ngingngi nalomui pammase Dewata, hanya dengan kerja keras dan ketekunan, maka akan mudah mendapatkan ridho Tuhan,” pungkasnya, sambil mengutip pepatah Bugis yang selalu dipegang kuat sebagai pemicu semangat dalam keberhasilan/ (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
Tutup