Menjadi Manusia Berdaya Pancasila
Oleh : Dr (Cand) H. Farid Kasim Judas, SH, M.Si, MH
Peringatan hari lahir Pancasila yang kita peringati bersama pada 1 Juni 2023 akan semakin berlalu. Tentunya kita berharap dengan semakin berlalunya hari tersebut tidak menjadikan kita sebagai anak bangsa yang kemudian melupakan luapan-luapan ideologis yang sempat kita aktualisasikan pada momentum harlah lalu.
Sebaliknya, kristalisasi semangat-semangat anak bangsa harus menyatu dan untuk terus berjibaku menjadikan Pancasila sebagai panduan dalam seluruh sendi kehidupan baik dalam bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara.
Andai tolak ukurnya dalam bentuk-bentuk seremonial semata, maka kita tidak akan pernah mampu menjawab realitas yang ada terkait dengan implementasi nilai-nilai Pancasila.
Bahkan, jika kita menyadari dengan seksama, di tengah-tengah selebrasi itu selalu dihiasi dengan berbagai sikap dan suara yang masih mempertanyakan sudah sejauh mana Pancasila itu diinternalisasikan di negara ini.
Tentu, sikap dan suara yang bertanya-tanya itu bukanlah harus dipandang sebagai perlawanan atau ketidakpercayaan. Apalagi kemudian diidentikan sebagai bentuk perlawanan. Namun, itu semua harus dimaknai sebagai bentuk kecintaan anak bangsa terhadap masa depan bangsanya.
Oeh karena itu, negara harus segera hadir untuk melakukan respons aktif atas segala tanda tanya yang ada. Pastilah jawaban-jawaban yang diharapkan tersebut tidak hanya sekadar lips service atau hanya bertutur dalam tataran normatif. Lebih dari itu adalah bukti-bukti yang bisa berdampak langsung bagi segenap warganya.
Banyak hal yang harus segera dijawab oleh negara ini. Namun, jika mengutip apa yang pernah disampaikan tokoh proklamator bangsa, Moh. Hatta saat berpidato pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1977 silam.
Di antara yang ditekankan beliau yakni yang harus disempurnakan dalam Pancasila adalah kedudukan sebagai hamba Allah, yang satu sama lain harus bersaudara. Oleh karena itu, lanjutnya, sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab langsung terletak di bawah sila pertama.
Tafsirnya tentu sangat mudah kita deskripsikan. Semangat persaudaraan haruslah dipandang sebagai kemutlakan yang harus dibangun, entah dalam skala kehidupan yang kecil yakni di rumah tangga, sampai pada penyelenggaraan pemerintah baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Andai ingin ditelisik lagi, kita akan senantiasa bersepakat bahwa karena semangat persaudaraan inilah yang menyebabkan bangsa ini menjadi kuat untuk saling bahu-membahu mengusir hadirnya para penjajah di muka bumi Indonesia sampai akhirnya kemerdekaan bangsa bisa diraih.
Pertanyaannya, apakah hari ini kita masih bisa menyaksikan adanya semangat kehidupan yang menunjukkan yang satu sama yang lain bersaudara?
Fenomena sosial yang di antaranya menghadirkan wajah-wajah kekerasan sepertinya terus menghantui kehidupan saat ini. Bahkan, kita sepertinya sudah tidak bisa mengalpakan diri dari pemberitaan-pemberitaan terkait penyiksaan, perkelahian, penyiksaan, sampai pada pembunuhan. Pemberitaan-pemberitaan yang menunjukkan semakin terkikisnya pondasi kemanusiaan yang dimiliki.
Sementara itu, di institusi-institusi pendidikan juga demikian. Institusi yang diharapkan mampu melahirkan insan-insan ideal dengan karakter-karakter suci seakan hanya menjadi harapan semata. Realitasnya sangat rapuh. Kasus bullying atau kekerasan (seksual) juga sering hadir di sini.
Fenomena saling sikut dan saling menjatuhkan pun juga terdengar santer di lembaga ini. Bahkan, kasus korupsi juga bergentayangan dan mampu mengalahkan nalar-nalar akademik yang mereka miliki.
Bagaimana di sektor pemerintahan? Kita juga sudah tahu sama tahu. Bablasnya sistem perpolitikan menyebabkan skema pemerintahan baik di daerah maupun di pusat berjalan menjauhi titik demokrasi. Adanya hanya sekadar bagi-bagi kekuasaan agar proses jalannya pemerintahan bisa menyisihkan suara-suara kritikan atau hadirnya lawan.
Agaknya, sangat panjang andai mau kita uraikan lebih lanjut terkait bagaimana kondisi persaudaraan anak bangsa sampai pada detik ini. Akan sangat lama dan hilang semangat agar segera bangkit andai kita tidak mencoba secara guyub untuk mulai perlahan-lahan mengikat kembali tali-tali kepedulian.
Untuk itu, sembari secara sadar kita menata diri untuk meningkatkan semangat kemanusian yang sudah rapuh, para penyelenggara negara juga harus berjibaku untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Ada satu poin penting yang harus segera diperbaiki, yakni bagaimana penyelenggaraan hukum di Indonesia bisa berjalan dengan optimal. Memihak pada yang benar dan tidak takluk pada yang bayar. Begitulah kira-kira harapan sederhana kita sebagai masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui, menjelang habisnya masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, Menkopolhukam tiba-tiba membentuk tim percepatan reformasi hukum. Satu sisi, patut kita apresiasi langkah ini sebagai upaya mengembalikan hukum pada khittahnya.
Di sisi lain menjadikan kita sadar betapa hukum yang sering kita ucapkan sebagai panglima, namun secara kasat mata selalu menghadirkan fenomena betapa semakin terdistorsinya hukum sehingga menjauh dari kosa kata keadilan dan kebenaran.
Perlahan tapi pasti, kelalaian akut kita dalam mempermainkan hukum itulah yang secara tidak langsung menghadirkan nirkemanusiaan yang di antara indikatornya berupa angka-angka kemiskinan tumbuh subur yang simultan dengan semangat-semangat hedonisme yang terus menggempur.
Maka perlahan tapi pasti juga kita akhirnya ‘terbiasa’ dengan kondisi yang ada. Padahal bertahun-tahun sudah Indeks Negara Hukum Indonesia terus berjalan di tempat. Sebagaimana yang pernah dirilis oleh World Justice Project di akhir tahun lalu, skor yang bisa kita raih dalam hal ini hanya sebesar 0,53 dan hampir ‘tidak’ ada beda dengan tujuh tahun lalu (2015) yakni dengan perolehan skor 0,52.
Semoga tim percepatan reformasi hukum bentukan Pak Menko, Mahfud MD yang sedang berjalan ini bisa menghasilkan terobosan terbaik untuk memperbaiki profil hukum bangsa yang mulai hilang kepercayaannya.
Kita semua harus optimis bahwa negara ini pasti bisa optimal menjadikan hukum sebagai panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita punya modal dasar yang besar: manusia-manusia berdaya Pancasila.
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan penikmat Ngopi Bareng.
Catatan Redaksi:
Linisulsel.com menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata. Kirim tulisan ke linisulsel@gmail.com disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
Tinggalkan Balasan