Gugatan Lolos Dismissal MK, FKJ-NUR Suara Terbanyak Kedua Bisa Menang Pilwalkot Palopo

Tangkap layar: Majelis Hakim, Arief Hidayat menyampaikan hasil pengucapan putusan sela (dismissal) di ruang sidang MKRI, Jakarta, Selasa (4/2/2025).

LINISULSEL.COM, JAKARTA – Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan melanjutkan pemeriksaan perkara sengketa hasil pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilwalkot) Palopo 2024 ke tahap pembuktian.

Putusan tersebut disampaikan hakim MK melalui sidang pengucapan putusan sela (dismissal) di ruang sidang MKRI, Jakarta, Selasa (4/2/2025).

Perkara sengketa perselisihan hasil Pilwalkot Palopo yang diputuskan untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya adalah perkara nomor 168/PHPU.WAKO-XXIII/2025 dengan pemohon adalah Farid Kasim Judas-Nurhaenih (FKJ-NUR) sebagai pasangan nomor urut 2.

“Dari sesi sore ini, sudah dibacakan 47 perkara, baik diputus maupun ditetapkan. Selanjutnya masih ada 7 perkara yang belum diputus atau di tetapkan karena perkara tersebut akan dilanjutkan dalam sidang pemeriksaan lanjutan,” kata Majelis Hakim, Arief Hidayat

Perkara yang dikabulkan tersebut, akan dilanjutkan mendengarkan keterangan saksi dan ahli.

Hakim memberikan batasan jumlah saksi atau ahli yang dihadirkan maksimal 4 orang, dan pemeriksaan dilaksanakan dalam satu kali sidang.

Petitum permohonan diantaranya meminta untuk membatalkan Keputusan KPU Kota Palopo Nomor 620 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pilwalkot Palopo tertanggal 5 Desember 2024.

Kemudian, mendiskualifikasi Paslon Nomor Urut 4, Trisal Tahir dan Akhmad Sarifuddin, dari kontestasi Pilwalkot Palopo 2024 karena dinilai tidak memenuhi syarat (TMS) secara administrasi.

Dalam petitumnya, Pemohon menegaskan bahwa Paslon Nomor Urut 4, Trisal Tahir dan Akhmad Sarifuddin, tidak memenuhi syarat sebagai peserta Pilwalkot akibat penggunaan ijazah yang diduga palsu.

Diketahui, Pilwalkot Palopo diikuti empat paslon dan berdasarkan data dari model D Hasil KABKO-KWK-Bupati/Walikota.

Paslon nomor urut 4, Trisal Tahir-Akhmad Syarifuddin meraih 33.933 suara disusul paslon nomor urut 2, Farid Kasim – Nurhaenih meraih 33.338 suara terbanyak kedua.

Kemudian paslon nomor urut 3, Rahmat Masri Bandaso-Andi Tenri Karta meraih 19.484 suara, dan nomor urut 1, Putri Dakka-Haidir Basir meraih 7.729 suara.

Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan mengatakan, Mahkamah Konstitusi bisa saja memenangkan pasangan calon (paslon) pemilik suara terbanyak kedua sebagai kandidat terpilih di dalam pilkada.

Maruarar Siahaan dalam keterangan pers di Jakarta Minggu, mengatakan keputusan itu bisa diambil MK ketika paslon pemilik suara terbanyak pertama di pilkada, terbukti melakukan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

“Tentang putusan, sampai kepada diskualifikasi dan paslon yang memiliki suara terbanyak kedua ditetapkan sebagai paslon yang dilantik, tetap dimungkinkan,” kata Maruara beberapa waktu lalu seperti diberitakan antaranews.com.

Namun, kata dia, MK perlu memeriksa kinerja Bawaslu sebelum memenangkan paslon pemilik suara kedua sebagai kandidat terpilih. Misalnya kemungkinan Bawaslu tidak menangani atau bekerja tidak sesuai dengan aturan.

Kemudian, kata dia MK perlu menguji pilkada yang terdapat pelanggaran hukum pemilu soal TSM.

Menurut dia, MK berwenang menyatakan paslon yang ditetapkan sebagai pemenang untuk didiskualifikasi jika pelanggaran TSM terbukti. Setelah itu, paslon pemilik suara terbanyak kedua dilantik sebagai pemenang pilkada.

Namun, lanjut dia MK dapat menyatakan pemilihan ulang, ketika perolehan suara paslon yang diskualifikasi tidak berbeda jauh.

Mekanisme pemungutan suara ulang ini bisa terjadi ketika jumlah paslon lebih dari dua. Selanjutnya selisih suara antara Paslon yang tidak didiskualifikasi terpaut tipis.

“MK berwenang menyatakan paslon yang ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU didiskualifikasi dan menyatakan pemenang kedua yang dilantik, atau jika suara pasangan calon di luar diskualifikasi tidak berbeda jauh, dapat menyatakan dilakukan pemungutan suara ulang, di luar keikutsertaan paslon yang didiskualifikasi,” ucapnya.

Selain itu, menurut Maruarar adanya indikasi kecurangan juga menjadi pertimbangan mahkamah ketika menerima perkara sengketa pilkada yang selisih suaranya melebihi syarat ambang batas.

Dia mengatakan syarat ambang batas sendiri telah mendorong pasangan calon untuk mengejar selisih suara yang menjamin kemenangan mereka tidak bisa digugat ke MK.

Demi mengejar target tersebut, paslon terkadang menggunakan cara tidak sah atau melanggar ketentuan penyelenggaraan dalam undang-undang, serta melanggar hak-hak asasi pasangan calon tertentu.

Oleh karenanya, menurutnya agak berbeda dari masa sebelumnya ketika norma ambang batas mulai diterapkan, MK yang melihat masalah ambang batas dalam praktiknya menyebabkan tidak senantiasa menyatakan permohonan dengan jumlah selisih melewati ambang batas yang ada segera dinyatakan tidak dapat diterima.

“Jika ada petunjuk awal yang ditunjukkan dalam bukti-bukti yang menjadi lampiran permohonan, MK akan menunda sikap tentang ambang batas setelah memeriksa pokok perkara, untuk melihat benar atau tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran, termasuk yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif, dalam proses penyelenggaraan,” ujar Maruarar.

Dilansir dari situs mkri.id milik MK, Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah kini bersifat permanen.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang membacakan pertimbangan hukum Mahkamah mengatakan, ketentuan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada yang  mengatur keberadaan serta rencana pembentukan badan peradilan khusus pemilihan merupakan conditio sine qua non bagi keberadaan Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada. Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada mengatur tentang lembaga yang untuk  sementara diberi kewenangan sebagai/menjadi badan peradilan pemilihan di masa  transisi atau di masa ketika badan peradilan khusus pemilihan tersebut belum dibentuk.

Enny menambahkan inkonstitusionalitas Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada membawa implikasi hilangnya kesementaraan yang diatur dalam Pasal 157 ayat (3) Pilkada, tidak lain karena causa kesementaraan demikian telah hilang. Dengan  demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili  perkara perselisihan hasil pemilihan tidak lagi terbatas hanya “sampai dibentuknya  badan peradilan khusus”, melainkan akan bersifat permanen, karena badan  peradilan khusus demikian tidak lagi akan dibentuk.

“Demi memperjelas makna Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 yang tidak lagi  mengandung sifat kesementaraan, maka menurut Mahkamah frasa ‘sampai dibentuknya badan peradilan khusus’ harus dicoret atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Dengan dihilangkannya frasa tersebut Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 selengkapnya harus dibaca ‘Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi’,” ucap Enny.

Tafsir Pemilihan dalam UUD 1945

Enny Nurbaningsih mengatakan, tafsir atas UUD 1945 yang tidak lagi membedakan antara pemilihan umum nasional dengan pemilihan kepala daerah, secara sistematis berakibat pula pada perubahan penafsiran atas kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, salah satunya, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

“Selanjutnya makna konstitusional yang demikian diturunkan dalam berbagai undang-undang yang terkait dengan kewenangan MK, terutama Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Norma demikian pada akhirnya harus dipahami bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan umum yang diadili oleh MK terdiri dari pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat; memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah; memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik provinsi, kabupaten, maupun kota; serta memilih kepala daerah provinsi, kabupaten, maupun kota,” terang Enny. (*)

Tutup